img
MENILIK ARAH BARU KEBIJAKAN KESEHATAN DI INDONESIA
  • RH
  • August 06, 2024
  • Pengunjung (2232)

Menciptakan ketahanan serta kesehatan yang berdikari menjadi fokus utama pemerintah dalam pembaharuan undang-undang kesehatan. Pasca 14 tahun berlaku, Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU 36/2009) sebagai payung hukum di bidang kesehatan harus mengalami pembaharuan dan penyempurnaan lantaran dianggap sudah tidak mampu menyesuaikan dinamika dan tantangan di bidang kesehatan saat ini. Penyebaran pandemi Covid-19 pada 2020 lalu juga menjadi tonggak dilakukannya pembaharuan pengaturan di bidang kesehatan. 

Ketiadaan regulasi, jutaan kasus kematian, keterbatasaan tenaga kesehatan, serta minimnya riset dan inovasi yang dikembangkan saat terjadinya Pandemi Covid-19 telah menyadarkan pemerintah akan pentingnya penyempurnaan regulasi di bidang kesehatan saat ini. Namun, pasca disahkannya Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023) pada Juli 2023 lalu, regulasi tersebut cukup menuai kontroversi, bahkan langsung mendapat uji permohonan (judicial review) baik secara materiil maupun formil di Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan sejak awal pembahasannya, undang-undang ini pun terus mengalami penolakan. 

Lantas, apakah undang-undang ini mampu menjadi solusi atau hanya menyebabkan degradasi di bidang kesehatan? Sejauhmana undang-undang ini berimplikasi terhadap arah kebijakan kesehatan Indonesia?

Perlunya Keseriusan Pemerintah

Kesehatan menjadi hak asasi setiap warga negara yang harus dijamin oleh pemerintah sebagaimana amanat konstitusi.  Dalam hal ini, pemerintah menjadi pihak utama yang memiliki hak dan kewajiban untuk menjamin serta memenuhi hak kesehatan masyarakat tersebut. Untuk itu, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh dalam perencanaan, pengaturan, penyelenggaraan, serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesehatan. 

Upaya pemerintah tersebut dilakukan melalui revisi terhadap UU 36/2009 dengan metode Omnibus. Selain merubah Undang-Undang Kesehatan eksisting saat ini, pembentukan Omnibus Law Kesehatan ini juga mencabut sembilan undang-undang dan mengubah empat undang-undang di bidang kesehatan. Adapun poin-poin perubahan tersebut antara lain mencakup: (i) penguatan peran dan tanggung jawab pemerintah di sektor kesehatan, (ii) perluasan pengaturan mengenai kedaruratan kesehatan, (iii) registrasi dan perizinan praktik tenaga kesehatan, (iv) pemanfaataan teknologi di bidang kesehatan, (v) penguatan pelayanan kesehatan primer, (vi) jaminan kesehatan, (vii) praktik dokter asing, (viii) pembatasan jumlah organisasi profesi, (ix) naungan konsil kedokteran, serta (x) pendanaan kesehatan.

Adapun pendanaan kesehatan menjadi salah satu point perubahan krusial yang menimbulkan polemic, tepatnya terkait dengan mandatory spending atau besaran pengeluaran yang harus dialokasikan pemerintah di bidang kesehatan. Sebelumnya, Pasal 171 UU 36/2009 mengatur besaran anggaran kesehatan yang harus dialokasikan oleh pemerintah pusat adalah 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 10% oleh pemerintah daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, pengaturan tersebut dihapuskan dalam UU 17/2023 saat ini dengan alasan ingin menyesuaikan anggaran dengan kemampuan dan kondisi pendanaan APBN. 

Jika mengacu pada besaran anggaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang Kesehatan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa mandatory spending sebesar 5% yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat masih sangat minim jika dibandingkan dengan besaran anggaran kesehatan yang dialokasikan oleh negara-negara lain. Perhitungan alokasi anggaran kesehatan di beberapa negara dilakukan melalui besaran pendapat per kapita. Sebagai contoh, negara Amerika Serikat mengatur alokasi anggaran di bidang kesehatan pada tahun 2023 sebesar US$754,6 miliar (Rp11.096 triliun) atau 16,4% dari total anggaran. Contoh lainnya dapat dilihat pada negara Jerman yang mengalokasikan sekitar 13,24% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk bidang kesehatan di tahun 2024 dan juga Norwegia yang mengalokasikan $7711 dari PDB (Statista.com).

Tidak hanya pada negara-negara Eropa dan Amerika, pengaturan terkait mandatory spending di bidang kesehatan juga telah menjadi kesepakatan negara-negara Uni Afrika. Berdasarkan Dekralasi Abuja 2001, 15% dari anggaran pendapatan negara harus dialokasikan untuk bidang kesehatan. Adanya pengaturan terkait alokasi anggaran kesehatan di berbagai negara tersebut bahwasanya menunjukan komitmen negara dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan di bidang kesehatan serta mewujudkan pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Komitmen tersebut juga sejalan dengan komitmen dan niat baik pemerintah Indonesia, namun penghapusan pengaturan terkait mandatory spending dalam UU 36/2009 rasanya tidak menunjukan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pemenuhan hak kesehatan masyarakat. 

Penghapusan mandatory spending dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, terutama dalam mewujudkan Rencana Aksi Kesehatan 2020-2024. Pemerintah harus menunjukan komitmennya dan menjawab keresahan masyarakat untuk mengatasi persoalan kesehatan yang tidak hanya mencakup persolan pelayanan kesehatan, tetapi juga upaya pencegahan dan pengentasan penyakit menular dan penyakit yang menyebabkan angka kematian tertinggi di Indonesia, seperti stroke, kanker, dan diabetes. Dalam hal ini, diperlukan langkah konkret dan strategis dari pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang Kesehatan yang baru, serta membuktikan bahwa penghapusan mandatory spending di bidang kesehatan tidak akan mengurangi komitmen pemerintah dalam mewujudkan ketahanan di bidang kesehatan.

 

Arah ke Depan

Langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah untuk menunjukan keseriusannya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan kebijakan di bidang kesehatan perlu diimbangi dengan pengawasan dan perbaikan pelayanan. Sebagaimana diketahui, adanya pemusatan perizinan dan pelayanan kesehatan oleh pemerintah dalam Undang-Undang kesehatan yang baru ini telah mempersempit ruang gerak organisasi dan konsil di bidang kesehatan. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang optimal.

Dalam hal ini, pemerintah pengawasan dari dua arah, yakni pengawasan kepada sektor pelayanan kesehatan dan aparat penegak hukum, serta pengawasan terhadap masyarakat. Pengawasan kepada eksekutor pelayanan di bidang kesehatan ini dimaksudkan agar perizinan dan pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat undang-undang kesehatan, sementara pengawasan kepada masyarakat dimaksudkan agar masyarakat dapat menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan koridor pengaturan Undang-Undang Kesehatan saat ini.

Selain itu, hal terpenting lainnya yang harus diupayakan pemerintah sebagai strategi optimalisasi Undang-Undang kesehatan terbaru ini adalah pengawasan terhadap penggunaan cyber security data. Sebagaimana diketahui, pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan terbaru memang mempermudah pendataan dan keterbukaan informasi di bidang kesehatan, termasuk pemanfaatan teknologi untuk pelayanan kesehatan seperti penggunaan telemedicine. Namun, pengawasan dan kemanan data ini juga harus menjadi prioritas pemerintah guna memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi di bidang kesehatan dan mencegah timbulnya kerugian masyarakat akibat kebocoran dan penyalangunaan data. Optimalisasi pelayanan di bidang kesehatan ini jangan sampai justru menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari, seperti masalah keamanan masyarakat.

Pada akhirnya keberhasilan implementasi Undang-Undang Kesehatan ini juga akan bergantung pada komunikasi hukum yang dilakukan pemerintah. Sosialisasi dan edukasi pengaturan terbaru di bidang kesehatan tidak hanya harus dikomunikasikan kepada masyarakat, tetapi juga kepada kepada kepala daerah, tenaga kesehatan, serta aparat penegak hukum. Upaya konsolidasi yang dilakukan pemerintah jangan sampai disalah tafsirkan oleh pihak manapun, sehingga tidak mencapai ketahanan dan kemandirian kesehatan sebagaimana yang menjadi tujuan Undang-Undang Kesehatan. Sebab, kesehatan adalah harta yang paling berharga, dan sebagaimana dikatakan oleh Cicero, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populis suprema lex esto). 

Sumber : bphn.go.id