MEMAKNAI RASA KEADILAN MASYARAKAT ERA DIGITAL
Masyarakat seluruh dunia termasuk Indonesia pada saat ini semakin tergantung dengan dunia digital sebagai salah satu konsekuensi era modern. Dahulu hukum dikatakan dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, namun saat ini di era digital dinamisasi hukum tersebut semakin mengalami percepatan/ fluktuasi, ilustrasi era digital society 5.0 akan semakin melekatkan teknologi dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks penulisan ini dipersempit menjadi teknologi internet dalam berbagai bentuknya, antara lain media sosial/ platform digital yang beraneka ragam.
Indonesia pada dasarnya menganut sistem civil law. Keadilan masih terus dikaji hingga tercapai metode paling mungkin/ideal; (Sandra Gatro, 2023) mengutip Prof. Mahfud MD yang sempat mengunggah meme orang kecil meminta keadilan kepada hakim di akun Twitternya, @mohmahfudmd. "Di karikatur itu, ada orang kecil 'Pak, minta keadilan'. Lalu hakimnya bilang 'Kamu minta keadilan? Beli di sini'," ujar Mahfud saat paparan di Rapim Lemhannas. Keadilan sangat tergantung kecakapan dan integritas penegak hukumnya, dalam hal ini dapat dikembangkan mazhab apa yang dianut oleh penegak hukum.
Hukum dalam mengikuti perkembangan masyarakat akan mengarahkan hukum dalam konteks sosiologi hukum. (Setyo Utomo, 2017) ia mengutip Kelsen bahkan hukum harus dipisahkan dari anasir lain non yuridis (Politik, Historis, bahkan etis). (Moh. Faishol Hasanuddin, 2023) menyatakan dimensi non yuridis dapat pula dipandang dari filsafat Keadilan dalam dimensi non yuridis juga mencakup keadilan secara filosofis, dengan bentuk pertanyaan untuk apa hukum dibuat dan diciptakan? Tentu jawabannya untuk ketertiban umum (masyarakat umum), tidak untuk hukum itu sendiri atau penegak hukum itu sendiri. Pada sisi yang lain hukum harus pasti dan didalam kepastian harus berubah sesuai perkembangan rasa keadilan masyarakat. Perkembangan masyarakat dicirikan adanya perubahan, sedangkan kepastian cenderung lebih presisi (stagnan), kemudian harus mengikuti perubahan (dinamis), maka memunculkan permasalahan ketika berhadapan dengan frasa ”rasa keadilan masyarakat”. Seorang hakim yang putusannya selalu mencantumkan pertimbangan, mendasarkan pada rasa keadilan masyarakat.
Hukum Indonesia dalam Era Digital Society
Era digital society 5.0 diharapkan membawa kedewasaan teknologi dan kemanusiaan seiring dengan kecerdasan komunikasi buatan. Era ini berfokus pada kecerdasan buatan mendasarkan pada manusia, sehingga masih muncul polemik apakah manusia (kemanusiaan) akan tergeser atau tidak dengan kehadiran teknologi ini. (Suhartoyo:2021) Suhartoyo berpendapat nilai baru pada umumnya didapat dari analisis kecerdasan buatan big data yang mencakup ribuan informasi termasuk di dalamnya data real-time kondisi individu yang dapat diolah sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah teknologi guna memudahkan hidup masyarakat. Era ini akan mendisrupsi tata kehidupan masyarakat berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, termasuk aspek penegakan hukum, maka penegak hukum harus memiliki kebajikan yang tinggi untuk mewujudkan keadilan substansial. Kondisi individu (manusia) dikatakan dapat diolah dengan teknologi, selanjutnya kondisi individu yang diolah ini, apakah menjadi kondisi riil (fakta) ataukah kondisi yang sebenarnya sudah tidak riil (termodifikasi/direkayasa). Hukum mendasarkan pencapaian suatu keadilan salah satunya berdasarkan pentingnya alat bukti, sehingga kondisi individu termodifikasi dapat diperluas dengan pemaknaan jika ada bukti yang dimodifikasi atau setidak-tidaknya berpotensi termodifikasi, contohnya dalam alat bukti elektronik yang harus memiliki kekuatan pembuktian (bewijs kracht), berdebatan ini mencuat dalam perkara “Kopi Mirna”, akhirnya majelis hakim mendapat tantangan untuk menilai alat bukti dengan ekstra cermat, ditengah berbagai komentar masyarakat atau netizen dalam framing media sosial (social justice). (Jimly Asshiddiqie, 2012) Jimly berpendapat bahwa di luar undang-undang terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat dijadikan dasar penerapan suatu sistem hukum ... ini mengarah pada konsep hukum commons law, yaitu suatu suatu konsep hukum yang sangat konsern terhadap terciptanya rasa keadilan masyarakat. Hak-hak dasar seseorang tentunya sangat penting akan tetapi terdapat hal yang lebih penting, yaitu kepentingan masyarakat umum.
Rasa Keadilan Masyarakat Untuk Mewujudkan Keadilan Substantif
Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka kita berpijak pada UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 5 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasannya yang dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pemaknaan norma ini sesuai dengan hukum, baru dipersandingkan dengan rasa keadilan masyarakat yang bersumber dari suasana kebatinan masyarakat.
(Paulus E. Lotulung, 2011) Paulus menyatakan banyak teori tentang cara mewujudkan putusan Hakim yang berkualitas, namun bagi pencari keadilan yang mendambakan keadilan hukum terhadap perkaranya pada Hakim, putusan Hakim yang berkualitas baginya tidak lain hanyalah putusan yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan. Rasa keadilan pencari keadilan (in person) ini, dapat saja berbeda dengan rasa keadilan masyarakat versi netizen/ media sosial.
Pada hukum perdata, kedua belah pihak memiliki keinginan mendapatkan keadilan dengan cara masing-masing, sedangkan dalam peradilan pidana terdakwa memiliki rasa keadilan versinya bisa saja berbeda dengan nitizen/ pemberitaan media sosial. Rasa keadilan terdakwa maupun masyarakat umum bersumber dari suasana kebatinan masing-masing, maka ada 2 (dua) hal yang patut didalami, pertama, apakah suasana kebatinan terdakwa telah menggunakan suasana batin yang baik (menyadari/mengakui kesalahan), dan suasana kebatinan masyarakat didasari pemahaman yang tepat dari masyarakat (netizen) atas sebuah perkara yang umumnya informasi didapat sebatas pemberitaan media sosial?
Harapan yang muncul adalah keadilan masyarakat (netizen) dalam media sosial dapat mewakili keadilan secara nyata pada kehidupan masyarakat konkrit. Sehingga tidak terjadi disparitas alamiah atau rekayasa/modifikasi rasa keadilan masyarakat di media sosial. Hingga saat ini menurut penulis, perkara yang relatif kecil, masih terjadi perbedaaan antara rasa keadilan di media sosial dengan dunia nyata, baik itu keadilan masyarakat yang nyata maupun fakta persidangan. Contoh, perkara korupsi, siapapun tersangka/terdakwanya akan buru-buru diadili oleh masyarakat media sosial (netizen), sedangkan realita perkara dalam persidangan belum tentu sama. Masih sering terjadi validitas struktur hukum normatif berhadapan dengan validitas rasa keadilan masyarakat, yang di era digital diwakili oleh netizen/ pemberitaan media sosial.
(Prof. Sudikno, 1993) Sudikno menyatakan tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum demi ketertiban masyarakat, maka penulis berpendapat, bagaimana seharusnya hukum berproses, menjadi bergeser/bertransisi menjadi apa hukumnya namun tetap berpijak pada kaidah hukum. Masa depan hukum tentu mengarah untuk keadilan masyarakat, namun perlu dicermati adanya pergeseran pemaknaan keadilan masyarakat yang terjadi saat ini, yaitu seringkali kegaduhan publik/ netizen di media sosial seolah-olah dianggap mewakili keadilan masyarakat, sedangkan netizen tentu saja tidak semua berlatar belakang hukum atau memiliki pemahaman memadai tentang hukum dan cara bekerjanya hukum. Hal ini berbeda dengan rasa keadilan masyarakat yang dahulu ada ketika konsep ini mulai diperkenalkan, bahwa keadilan masyarakat benar-benar konkrit setidaknya mereka yang mengalami persitiwa tersebut.
Sebagai penutup, jika hakim akan menggunakan dasar rasa keadilan masyarakat, seyogianya memiliki kecukupan data berupa fakta terjadinya suatu peristiwa, namun jika akan menggunakan sumber dari netizen/media sosial, maka perlu kecermatan lebih tinggi apakah informasi/data tersebut valid (tanpa modifikasi). Mengingat era digital 5.0, berbagai data elektronik dapat dimodifikasi/direkayasa menggunakan artificial intelligence atau software yang bersifat robotik lain yang mampu mendaur ulang bahkan menyebarkan berita seolah-olah suatu peristiwa hukum tersebut menjadi viral, dan melakukan framing untuk kepentingan pihak tertentu. Jangan sampai harapan hakim untuk memberikan keadilan substantif bagi masyarakat, bergeser menjadi sebatas keadilan netizen atau keadilan dalam media sosial.
sumber : bphn.go.id