img
Gangguan Tidur, Ritme Jam Biologis, dan Kesehatan Mental Remaja
  • RM
  • February 26, 2024
  • Pengunjung (732)

Masalah dengan tidur dan ritme sirkadian atau jam biologis terbukti dapat memicu dan memperburuk berbagai gangguan kejiwaan. Pemahaman yang lebih baik hubungan tidur, ritme sirkadian, dan kesehatan mental dapat membuka pengobatan holistik baru.

Masalah kesehatan mental remaja telah dilaporkan mengalami peningkatan secara global, termasuk juga di Indonesia. Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 15,5 juta (34,9 persen) remaja di Indonesia mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Ada banyak faktor yang dianggap memicu kenaikan masalah kesehatan mental di kalangan remaja ini, salah satunya adalah pandemi Covid-19 yang secara tiba-tiba membuat banyak orang kehilangan teman, orang yang dicintai, dan sistem pendukung, yang memperburuk prevalensi kesepian dan isolasi sosial.

Para peneliti telah berupaya mencari cara mengatasi masalah kesehatan jiwa di kalangan remaja ini. Laporan penelitian terbaru yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences pada Jumat (23/2/2024) menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara tidur, ritme sirkadian, dan kesehatan mental dapat membuka pengobatan holistik baru untuk meringankan masalah kesehatan mental.

Penelitian ini dilakukan tim peneliti internasional dari Universitas Southampton, King’s College London, Universitas Stanford, dan institusi lainnya. Mereka mengeksplorasi bukti terbaru mengenai faktor tidur dan jam sirkadian, dengan fokus pada remaja dan dewasa muda dengan gangguan kejiwaan.

”Gangguan tidur-sirkadian adalah hal yang lazim, bukan pengecualian, di setiap kategori gangguan kejiwaan,” kata Sarah L Chellappa dari Universitas Southampton, penulis senior kajian tersebut.

Gangguan tidur, seperti insomnia, dipahami dengan baik dalam perkembangan dan pemeliharaan gangguan kejiwaan. Namun pemahaman kita tentang gangguan sirkadian masih tertinggal. ”Penting untuk memahami bagaimana faktor-faktor ini berinteraksi sehingga kita dapat mengembangkan dan menerapkan intervensi jam sirkadian yang bermanfaat bagi gejala tidur dan kesehatan mental pasien,” katanya.

Insomnia lebih sering terjadi pada orang dengan gangguan kesehatan mental dibandingkan pada populasi umum. Selama masa remisi, episode akut, dan terutama pada psikosis dini, kesulitan untuk tidur dan tertidur memengaruhi lebih dari separuh individu dengan masalah kesehatan mental.

Sekitar seperempat hingga sepertiga orang dengan gangguan mood menderita insomnia dan hipersomnia, yaitu pasien sulit tidur di malam hari, tetapi lebih mengantuk di siang hari. Proporsi serupa dari penderita psikosis mengalami kombinasi gangguan tidur ini.

Sementara itu, beberapa penelitian yang mengamati gangguan ritme sirkadian tidur-bangun (CRSWD) menunjukkan bahwa 32 persen pasien dengan gangguan bipolar tidur dan bangun lebih lambat dari biasanya, suatu kondisi yang disebut delayed sleep-wake phase disorder.

Proses jam tubuh (seperti ritme kortisol endogen) dilaporkan berjalan tujuh jam lebih cepat selama episode manik, yaitu ketika seseorang sedang memiliki mood yang baik seperti humoris dan lebih bersemangat, dan empat hingga lima jam terlambat selama fase depresi. Waktu dinormalisasi setelah pengobatan berhasil.

Para peneliti memeriksa kemungkinan mekanisme di balik gangguan jam sirkadian pada gangguan kejiwaan. Selama masa remaja, perubahan fisiologis dalam cara kita tidur dikombinasikan dengan perubahan perilaku, seperti begadang, kurang tidur di malam masuk sekolah, dan tidur di akhir pekan.

Nicholas Meyer, dari King’s College London, yang ikut memimpin tinjauan tersebut mengatakan, variabilitas dalam durasi dan waktu tidur dapat menyebabkan ketidakselarasan antara jam tubuh dan ritme tidur-bangun yang dapat meningkatkan risiko gangguan tidur dan hasil kesehatan mental yang merugikan.

Para peneliti juga mengamati peran gen, paparan cahaya, neuroplastisitas, dan faktor lain yang mungkin terjadi. Mereka yang memiliki kecenderungan genetik terhadap penurunan perubahan tingkat aktivitas antara fase istirahat dan bangun lebih mungkin mengalami depresi, ketidakstabilan suasana hati, dan neurotisme.

Survei tingkat populasi menunjukkan waktu di luar ruangan yang dilaporkan sendiri dikaitkan dengan kemungkinan lebih rendah mengalami gangguan mood. Tidur diperkirakan memainkan peran kunci dalam cara otak membentuk koneksi saraf baru dan memproses ingatan emosional.

Renske Lok, dari Universitas Stanford, yang ikut memimpin tinjauan tersebut mengatakan, menargetkan faktor risiko tidur dan sirkadian memberikan peluang untuk mengembangkan tindakan pencegahan dan terapi baru.

Beberapa tindakan pencegahan itu adalah pertimbangan tingkat populasi, seperti waktu sekolah dan hari kerja, atau perubahan dalam lingkungan binaan untuk mengoptimalkan paparan cahaya. Tindakan lain adalah intervensi yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan parameter sirkadian individu.

Terapi Perilaku Kognitif untuk Insomnia (CBT-I) juga telah terbukti mengurangi gejala kecemasan dan depresi, serta gejala trauma pada orang yang mengalami PTSD.

Pada depresi unipolar dan bipolar, terapi cahaya yang diberikan saat bangun pagi, lebih efektif dibandingkan dengan plasebo. Menggunakannya dalam kombinasi dengan obat-obatan juga lebih efektif dibandingkan hanya menggunakan obat-obatan. Temuan lain menunjukkan, cahaya efektif dalam mengobati depresi perinatal.

Waktu pengobatan, makanan, dan olahraga juga dapat memengaruhi fase sirkadian ini. Mengonsumsi melatonin di malam hari juga dapat membantu penderita Gangguan Fase Tidur-Bangun Tertunda untuk mengubah jam tubuh mereka ke arah pola tidur yang lebih konvensional dan mungkin memiliki efek menguntungkan pada gangguan kejiwaan komorbiditas.

Sementara itu, kerja jadwal malam dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental, dan sebaliknya, lebih aktif dan mengonsumi obat-obatan di siang hari dibandingkan di malam hari dapat membantu mencegah gangguan mood.

Tinjauan ini juga menunjuk pada intervensi multikomponen yang inovatif, seperti Intervensi Transdiagnostik untuk Tidur dan Disfungsi Sirkadian (Trans-C). Hal ini menggabungkan modul yang membahas berbagai aspek tidur dan ritme sirkadian ke dalam kerangka kesehatan tidur yang berlaku untuk berbagai gangguan kesehatan mental.Chellappa mengatakan, secara kolektif, penelitian kesehatan mental siap memanfaatkan kemajuan luar biasa dalam ilmu tidur dan sirkadian dan menerjemahkannya ke dalam pemahaman dan pengobatan gangguan kejiwaan yang lebih baik.

Sumber kompas.id/ Adhitya Rmadhan