Bijak Bermedsos agar tidak Tersandung UU ITE
"Medsos menciptakan kebenaran semu. Hati-hati dengan medsos, tidak semua isi yang ada di medsos itu benar".
Masyarakat, di era digitalisasi, perlu kritis dan cerdas dalam menggunakan media sosial maupun platform internet lainnya. Saatnya bijak menggunakan jari agar tidak terjerat kasus hukum atau melanggar UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE).
Belakangan ini, sejumlah pesohor (influencer) di media sosial terjerat kasus hukum. Beberapa di antaranya kasus penipuan investasi. Sementara itu, kegaduhan di media sosial akibat perbedaan sikap politik di masyarakat bahkan semakin menjurus ke ujaran kebencian masih mewarnai linimasa medsos.
Begitupun pula penyebaran informasi hoaks dan menyesatkan terkait kebijakan pemerintah maupun penanganan Covid-19 masih terjadi.
Laporan Kementerian Kominfo sejak Januari 2020 sampai 4 April 2022, sedikitnya terekam 2.161 kasus hoaks dan disinformasi soal Covid-19 di dunia maya. Adapun laporan masyarakat ke kepolisian terkait UU ITE juga meningkat.
Pada tahun 2018 ada laporan sebanyak 4.360, di tahun 2019 bertambah menjadi 4.586. Lalu di 2020 meningkat lagi menjadi 4.790 kasus. Demikian diutarakan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya Henri Subiakto, ketika berbicara dalam Webinar Ditjen IKP Kementerian Kominfo dengan tema “Bermedsos dengan Cerdas”, Kamis (21/4/2022).
"Para influencer secara tidak sadar dan tidak mengetahui telanjur mem-posting dan mempromosikan produk perjudian, menyakiti orang atau mengakibatkan kasus penipuan. Oleh karena itu, kita harus cerdas menggunakan media sosial, agar tidak terkena kasus pelanggaran Undang-Undang ITE," kata Henri.
Dia mengharapkan, masyarakat perlu mempelajari literasi digital yang berisi etika, norma dan peraturan yang berlaku. Transformasi digital memang menuntut masyarakat beradaptasi terhadap perubahan.
Mantan Staf Ahli Menteri Kominfo itu mengingatkan, generasi muda dituntut kritis, kreatif, fleksibel, terampil, dan memiliki kemampuan digital yang baik. Sehingga, dapat memahami dan beradaptasi dengan dunia yang terus berubah sangat cepat. Termasuk, memahami etika dan aturan hukum yang berlaku, tidak melanggar UU ITE, KUHP, dan lainnya.
Satu hal, dia juga menegaskan, masyarakat yang tidak siap dengan perubahan nantinya akan terpinggirkan. Persaingan, menurutnya, membutuhkan kemampuan yang cerdas dan pengetahuan yang luas. Apalagi perkembangan Revolusi 4.0 begitu cepat, jika tidak diimbangi oleh etika, moral, dan landasan hukum kokoh, justru membawa persoalan baru.
Diakui media sosial selain memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya. Di sisi lain, menciptakan kebenaran semu (post truth) dengan cara memainkan emosi dan perasaan publik. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk tidak terlalu percaya dengan medsos.
"Medsos itu menciptakan yang namanya kebenaran semu. Hati-hati dengan medsos, tidak semua isi yang ada di medsos itu benar," ujar Henri Subiakto.
Menurutnya, di era post truth seperti sekarang ini banyak bermunculan informasi-informasi yang disajikan melalui medsos. Namun ternyata, merupakan kebohongan atau sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dengan begitu, korbannya adalah orang-orang yang tidak suka menyimak dan membaca serta mau membuktikan kebenarannya terlebih dahulu.
Banyak sekali rekayasa sosial politik yang disebarkan melalui akun-akun buzzer di medsos. Hal inilah yang memicu ketegangan politik di masyarakat selama Pilpres 2014 dan 2019, bahkan sampai sekarang. Di negara demokrasi terbesar seperti Amerika Serikat juga terjadi segregasi akibat politisasi yang dipicu medsos, seperti sengitnya persaingan antara kubu Joe Biden/Hillary Clinton versus Donald Trump.
Informasi hoaks memang sengaja dipelihara dengan membuat segregasi sosial di medsos. Masyarakat hanya digiring untuk menyimak pikiran-pikiran yang sealiran. Di luar itu adalah salah bahkan dianggap bodoh atau sesat. Pola itu disebut echo chamber (menggema di kalangan sendiri). Ketika disajikan berulang-ulang akhirnya dianggap menjadi kebenaran.
Henri Subiakto menambahkan, pelbagai hoaks, disinformasi, ujaran kebencian, dan ideologi radikal yang berkelindan di media sosial pada akhirnya memicu provokasi di masyarakat. Dampaknya masyarakat jadi terbelah, merusak tatanan demokrasi, menciptakan konflik sosial hingga perang yang berujung pada kehancuran suatu negara.
Situasi tersebut bisa dicegah bila generasi muda dan kalangan milenial aktif di media sosial secara cerdas dan produktif. Menjaga NKRI dan Pancasila dengan narasi positif di dunia digital maupun di dunia nyata.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar memandang Indonesia memerlukan kesiapan khusus yang memadai di era digital yang begitu cepat berubah ini. "Apa yang harus kita siapkan untuk menang dalam pertempuran dunia digital? Setidaknya perlu ada tiga syarat utama," kata anggota Komisi I DPR itu, Kamis (21/4/2022).
Syarat yang pertama, menurut Cak Imin, adalah menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang andal. Ia menilai, kesadaran serta kemampuan dan kapasitas SDM di bidang teknologi informasi perlu dilakukan upgrade secara menyeluruh.
"Tentunya ini butuh investasi besar dari kita semua. Khususnya dari pemerintah dan negara, khususnya pada kurikulum kita harus menambah skills di bidang teknologi informasi," ujarnya.
Muhaimin menerangkan, anggaran pendidikan harus mengarah pada peningkatan kapasitas teknologi informasi. Sehingga, ke depannya bisa melahirkan para pakar dan ahli di bidang digital. Jadi, masyarakat tidak selalu menjadi konsumen produk digital asing.
Lebih lanjutnya, syarat kedua yang perlu disiapkan adalah teknologi. "Nah, teknologi ini butuh dipersiapkan. APBN dan APBD harus mendorong itu semua, sehingga accessible kita mudah, cepat, dan murah. Ini yang sedang saya perjuangkan juga," ujarnya.
Dosen Universitas Merdeka Madiun Sasongko menambahkan, beberapa tips menggunakan medsos yang beretika agar tidak tersandung kasus hukum maupun konflik di masyarakat. Pertama, menjaga informasi yang bersifat privasi. Kedua, menjaga etika berkomunikasi. Ketiga, bijak dalam memilih teman di medsos. Empat, jangan asal menggunggah konten. Serta kelima, rajin mencari kebenaran dan mencantum sumber konten ketika membagikan konten di medsos.
Sumber : Indonesia.go.id