img
Berakit-rakit Susuri Batanghari ke Kota Jambi, Kenang Saat Rakit Jadi Alat Transportasi Bawa Getah

SAROLANGUN - Aktivitas menyusuri Sungai Batang Tembesi hingga Batanghari menggunakan susunan bilah bambu atau yang lebih dikenal dengan berakit, bukan hal baru bagi warga Jambi.

Begitu pula bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten Sarolangun. Pada era tahun 1928 kegiatan berakit sudah lebih familiar di kalangan masyarakat.

Kala itu, keberadaan rakit begitu penting terutama sebagai sarana utama transportasi atau angkutan pertanian atau perkebunan seperti hasil karet.

Keberadaan rakit pada saat itu cukup berperan meramaikan perairan Sungai Batanghari. Tidak hanya rakit-rakit dari Sarolangun saja, bahkan dari beberapa kabupaten terdekat yang memiliki satu aliran sungai.

Tetua Dusun sekaligus perakit senior di Dusun Muara Indung Kabupaten Sarolangun, H Abd Suud Alami menuturkan, berakit atau rakit sendiri memang bukan hal baru di Sarolangun. Terutama bagi para tauke getah di tahun 1928-1930-an tidak dapat lepas dari keberadaan rakit kala itu.

"Sarolangun menjadi salah satu tempat berkumpulnya rakit para pedagang karet tadi, sebelum nantinya mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Jambi, " ujarnya Rabu (30/11).

"Tempat berkumpulnya para rakit tersebut sekarang bernama Kampung Lubuk, hingga bantaran Kawasan Ancol Sarolangun di tahun 1960 masih ada," sambungnya.

Awal mula ide berakit sendiri, karena pada masa itu alat transportasi masih sangat terbatas.

"Meskipun ada terbilang kurang efektif, sehingga masyarakat yang hidup di bantaran sungai memanfaatkan bahan baku bambu yang melimpah dan keberadaan sungai sebagai solusi," jelas Suud.

Masyarakat yang menggunakan rakit ke banyak kawasan kecamatan seperti Batang Asai, Sungai Batang Tembesi, Muara Siau, bahkan dari Kabupaten Bungo, Merangin sekitarnya.

Pertemuan para perakit dari empat kabupaten tersebut yakni Bungo, Tebo, Merangin dan Sarolangun pertemuannya di kawasan sungai Simpang Muara Tembesi (Sungai Tembesi).

"Mengapa Sarolangun menjadi lokasi berkumpulnya para pedagang karet yang berakit, karena permukaan sungai sudah cukup besar. Sehingga para pedagang tadi dapat menggabungkan rakit-rakit mereka tadi menjadi satu rakit yang besar agar lebih mudah dalam perjalanan, " jelasnya.

"Setelah digabung, satu rakit bisa menampung atau membawa karet beku lebih dari 200 ton, " sambungnya.

Rakit para pedagang masa itu terbilang berukuran jumbo, dengan panjang hingga mencapai 30 meter untuk satu rakit dengan lebar menyesuaikan. Dengan kru rakit berjumlah delapam orang untuk formasi 44, bertugas pada bagian depan empat dan belakang empat.

Jauh berbeda dengan rakit-rakit yang ada saat ini yang memiliki panjang maksimal 12 meter. Selain beda penggunaan dan peruntukannya juga kapasitas yang berbeda pula.

Namun aktivitas berakit tersebut sudah mulai hilang, kisaran tahun 1972 seiring kemajuan transportasi dan perkembangan di Kabupaten Sarolangun.

Kenang Peradaban Sungai di Masa Jaya

BERBEDA dengan rakit getah era tahun 1920-1972 yang banyak digunakan sebagai rakit angkutan, untuk merakit milir berakit (rakit budaya) yang saat ini masih terus dilestarikan oleh para pecinta rakit di Sarolangun sebagai bentuk tradisi.

Meski secara bentuk sekilas masih sama dengan rakit pada umumnya, hanya saja untuk diameter dan kapasitas jauh lebih kecil. Namun untuk penggunaan dan keterampilan mengendarainya masih sama.

Dikatakan Datuk H. Abd Suud Alami, awal tradisi milir berakit sudah berjalan pada tahun 2001 di bawah komunitas PPKL. Kemudian berlanjut di tahun 2002-2005 di bawah komunitas Wanala (pecinta alam) setelah beberapa kegiatan berakit diikuti hingga menggelar berakit ke Kota Jambi di tahun 2006 lalu.

"Pada tahun ini kita (pecinta rakit) sarolangun kembali akan melakukan ekspedisi menuju kota Jambi. setelah sempat vakum akibat pandemi di 2022 ini kita kembali berlayar," ujarnya.

Menurutnya, berlangsung tidaknya kegiatan tradisional berakit ini tergantung dari siapa pemimpinnya. Jika pemimpin tidak ada kepedulian akan tradisi dan nilai budaya kegiatan seperti ini sulit untuk dapat terus dilestarikan.

Karena kegiatan milir berakit ini selain untuk mengembalikan tradisi berakit, juga sebagai bentuk pemerhati kondisi Sungai Batanghari. Dan juga sebagai bentuk mengenang kejayaan Sungai Batanghari yang menjadi kebanggaan masyarakat dari dahulu hingga saat ini.

"Harapan ke depan, tradisi ini harus diteruskan. Sebagai implementasi jambi tempo doeloe. Merupakan sejarah dan simbol perekonomian masyarakat, " tandasnya.

Awal Januari Berlayar ke Kota Jambi

BERSAMA Yayasan Sahabat Sungai Batanghari, para pecinta rakit Sarolangun kembali siap berlayar menyusuri Sungai Batanghari menuju Kota Jambi.

Ekspedisi rakit perintis, yang telah sukses menjalankan misinya pada akhir pekan lalu kembali berlanjut. Saat ini penyelenggara menyiapkan sebanyak 15 rakit untuk berlayar kembali.

Dikatakan Pecinta Rakit dan Ketua Organisasi Sarolangun Tempo Doele, Herman Jumat (25/11), dalam ekspedisi tahap dua ini pihaknya terus melakukan persiapan pembuatan rakit.

"Ada 15 rakit yang kita persiapkan, dengan dua lokasi pembuatan. Saat ini sudah tiga rakit yang masih kita kerjakan pembuatannya," tuturnya.

Dari hasil ekspedisi perintis yang dilakukan beberapa waktu lalu, ada beberapa catatan yang digaris bawahi dan diantisipasi bagi para perakit dan juga panitia penyelenggara.

Dari hasil survei awal, terdapat beberapa wilayah atau lokasi yang terbilang rawan atau ekstrem dikarenakan adanya penyempitan sungai dan juga pohon yang tumbang ke arah sungai dan juga keberadaan kawat sling.

"Di kawasan Sarolangun ada tiga sling yang terpantau dan harus diantisipasi, terlebih pada posisi air pasang tentu sangat mengkhawatirkan, " jelasnya.

Untuk itu, pihaknya berharap kepada panitia penyelenggara untuk dapat menyikapi hal tersebut. Guna keselamatan dan kesuksesan berakit nanti.

"Kita berharap di jalur jalur rawan tadi, panitia menyiapkan pompong atau boat darurat untuk antisipasi evakuasi. Bisa dari BPBD atau pihak lainnya guna keselamatan perakit nanti, " tandasnya.

Sumber : Tribun Jambi Penulis : Abdullah Usman