img
IMPLIKASI REGULASI PERCEPATAN TRANSFORMASI KENDARAAN LISTRIK TERHADAP POLA PERILAKU MASYARAKAT
  • RH
  • August 06, 2024
  • Pengunjung (277)

Pendahuluan

Teknologi kendaraan listrik bukan merupakan teknologi yang baru muncul lima atau sepuluh tahun ke belakang, melainkan telah berkembang sejak lebih dari ratusan tahun silam. Perkembangan kendaraan listrik saat ini telah memasuki era ketiga yang ditandai dengan kesadaran akan dampak negatif dari pemakaian energi berbasis fosil, ditambah juga karena keterbatasan ketersediaan sumber energi fosil itu sendiri. Pada dua periode sebelumnya, perkembangan kendaraan listrik terhambat karena beberapa permasalahan, antara lain kemampuan baterai yang masih sangat terbatas sehingga jarak tempuh dari kendaraan listrik relatif pendek serta masih banyaknya sumber cadangan minyak sehingga mengalahkan pamor kendaraan listrik karena harga bahan baku baterai yang lebih mahal jika dibandingkan dengan harga minyak (Poczter, dkk, 2021: 202).

Pada era ini, perkembangan kendaraan listrik telah berada pada kondisi di mana semua teknologi pendukungnya telah berkembang sangat pesat. Inovasi kendaraan ramah lingkungan dan beremisi rendah dijadikan salah satu solusi yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang memiliki implikasi langsung terhadap pengendalian dampak perubahan iklim. Penggunaan baterai sebagai sumber energi kendaraan listrik dianggap lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan pemakaian kendaraan berbahan bakar minyak yang menghasilkan gas sisa dari hasil pembakaran dalam kendaraan. Hal ini menjadikan transformasi kendaraan listrik menjadi solusi yang menarik untuk mengurangi dampak negatif penggunaan kendaraan terhadap lingkungan.

Dalam beberapa dekade terakhir, masalah lingkungan menjadi semakin mendesak dan mendapatkan perhatian secara global. Salah satu sektor yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan adalah transportasi, terutama kendaraan bermotor konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil. Berdasarkan data dari Outlook Energi Indonesia 2022, pada tahun 2021 sektor transportasi menempati posisi pertama dalam total konsumsi energi final di atas sektor industri, rumah tangga, komersial dan sektor lainnya di Indonesia. Konsumsi energi pada sektor transportasi mencapai angka 44,2% dari keseluruhan total konsumsi energi final yang menyebabkan sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yang berdampak pada pemanasan global, polusi udara, dan kerusakan lingkungan lainnya. Sebagai bentuk respons terhadap permasalahan ini, kendaraan listrik muncul menjadi alternatif yang menjanjikan. 

Namun, perubahan ke kendaraan listrik juga menghadirkan pertanyaan dan tantangan baru. Penggunaan kendaraan listrik dapat memiliki konsekuensi sosial yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, terkait pengembangan sarana dan prasarana infrastruktur pengisian daya yang memadai. Berdasarkan data yang disampaikan oleh PLN, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia per Desember 2022 berjumlah sebanyak 588 unit di 257 lokasi dengan penyebaran yang terfokus di Pulau Jawa dan Bali, di mana hanya ada sebanyak 37 unit yang tersebar di pulau-pulau lainnya. Sedangkan salah satu masalah terbesar di Pulau Jawa adalah kepadatan penduduk yang menyebabkan kemacetan.

Tingginya biaya kendaraan listrik dan distribusi manfaat yang adil bagi masyarakat secara keseluruhan juga perlu menjadi pertimbangan yang serius sebelum Pemerintah memutuskan kebijakan percepatan transformasi kendaraan listrik. Agar manfaat dari penggunaan kendaraan listrik dapat dirasakan, tidak hanya oleh masyarakat kalangan tertentu, namun merata dapat dirasakan oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada kerangka kerja yang memungkinkan evaluasi holistik untuk memahami implikasi penggunaan kendaraan listrik yang lebih luas.

 

Transformasi Kendaraan Listrik

Electric vehicle (EV) atau kendaraan listrik adalah semua jenis kendaraan penumpang yang digerakkan dengan motor listrik baik seluruhnya maupun sebagian misalnya dalam sistem dengan kombinasi motor bakar (Kumara, 2008: 91). Sedangkan kendaraan yang hanya digerakkan dengan motor listrik disebut dengan battery electric vehicle (BEV) atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai kendaraan listrik berbasis baterai (KBL). Kendaraan listrik baterai menggunakan baterai sebagai penyimpan energi listrik yang nantinya dikonversi menjadi energi mekanik oleh motor listrik. Karena hanya mengandalkan daya yang tersimpan di baterai, mobil listrik jenis BEV tidak mengeluarkan emisi seperti karbon dioksida (CO2) dan emisi polutan lainnya seperti zat timbal (Pb) (Aziz, 2020: 47). 

Keberadaan baterai merupakan teknologi kunci dalam pemanfaatan kendaraan listrik karena berkaitan langsung dengan kemampuan jarak tempuh dari kendaraan listrik itu sendiri. Teknologi baterai saat ini mampu memenuhi kebutuhan energi kendaraan listrik untuk jarak tempuh antara 80 sampai dengan 160-kilometer untuk sekali pengisian). Untuk digunakan sebagai sumber energi kendaraan listrik, baterai harus memiliki karakteristik yang aman, memiliki daya dan kapasitas besar, ukuran kecil dan ringan, tersedia dalam jumlah yang mencukupi, harga yang ekonomis, berumur panjang serta memiliki metode penghancuran atau disposal yang ramah lingkungan.

Dalam upaya transformasi kendaraan listrik, penting untuk diingat bahwa regulasi yang mendukung harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan disertai dengan persiapan prasarana yang mendukung. Keberadaan kendaraan listrik harus didukung dengan ketersediaan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik dari energi terbarukan karena jika pembangkit listrik yang digunakan masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai energi primer, maka penggunaan kendaraan listrik hanya akan mengalihkan emisi dari sektor transportasi menjadi emisi dari sektor energi.

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen penuh dalam upaya percepatan transformasi kendaraan listrik. Dalam aksi faktualnya, Pemerintah dengan cepat menyusun peraturan yang menjadi dasar penyelenggaraan percepatan transformasi kendaraan listrik di Indonesia. Dimulai dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan (Perpres Percepatan KBL). Pada dasar pertimbangan disebutkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi dan konservasi energi sektor transportasi serta terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, diperlukan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari percepatan program transformasi ini.

 

Pola Perilaku Masyarakat: Daya Beli Kendaraan Listrik dan Hubungan Timbal Balik dengan Kemacetan

Pemanfaatan kendaraan listrik dalam rencana jangka panjang memberikan gambaran yang cukup menjanjikan. Namun pelaksanaannya harus dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang. Salah satu upaya Pemerintah dalam percepatan transformasi kendaraan listrik adalah dengan kebijakan insentif seperti yang tertuang dalam Pasal 3 huruf b Perpres Percepatan KBL. Terhadap hal tersebut, Pemerintah melakukan tindak lanjut dengan menyusun dua regulasi terkait, yaitu:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (PMK Insentif Kendaraan Listrik Roda Empat); dan
  2. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Dua (Permenperin Insentif Kendaraan Listrik Roda Dua).

Apabila ditinjau lebih jauh, pemberian insentif berdasarkan kedua regulasi tersebut memiliki mekanisme yang berbeda. Pada PMK Insentif Kendaraan Listrik Roda Empat, pemberian insentif berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak melihat subjek yang diberikan insentif, melainkan fokus terhadap KBL sebagai objek yang dikurangi pajaknya. Berbeda dengan ketentuan pada Permenperin Insentif Kendaraan Listrik Roda Dua, insentif berupa program bantuan melihat subjek yang diberikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) yang mengatur terkait siapa yang berhak mendapatkan bantuan yaitu bagi penduduk yang terdaftar sebagai penerima manfaat: (a) KUR; (b) bantuan produktif usaha mikro; (c) bantuan subsidi upah; (d) penerima subsidi listrik sampai dengan 900 VA.

Berdasarkan kebijakan insentif kendaraan roda empat, politik hukum menunjukkan bahwa siapa pun yang membeli kendaraan listrik sudah pasti akan mendapatkan insentif di mana hal ini akan berimplikasi langsung dengan penambahan volume kendaraan di jalan raya. Berbeda dengan kendaraan roda dua, insentif yang diberikan ditujukan kepada subyek hukum tertentu yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah. Namun ternyata, perbedaan dua mekanisme pemberian insentif ini tidak mengurangi minat masyarakat dalam membeli kendaraan listrik. Hal ini dibuktikan dengan data dari Institute for Essential Services Reform yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah kendaraan listrik tertinggi berada pada segmen sepeda motor (kendaraan roda dua) yang bertumbuh hampir lima kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2021 (IESR, 2023: 11). Sedangkan untuk kendaraan roda empat sendiri, berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan mobil listrik naik 322% secara year-on-year per Oktober 2023 (Putra, 2023). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kenaikan penjualan kendaraan roda dua dan roda empat dari kendaraan listrik sangat tinggi.

Secara khusus di wilayah DKI Jakarta, Pemerintah melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap mengecualikan kendaraan listrik dari ketentuan ganjil-genap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e. Hal ini menjadi salah satu alasan tingginya penjualan kendaraan listrik di Jakarta (Karunia, dkk, 2023), sehingga upaya pemerintah untuk mentransformasi kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik agaknya belum sepenuhnya tercapai namun justru semakin menambah volume kendaraan yang beredar di jalan raya.

 

Penutup

Kendaraan listrik muncul sebagai alternatif yang menjanjikan untuk mengurangi dampak negatif transportasi terhadap lingkungan, dengan pengurangan emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Namun, perubahan ke kendaraan listrik juga memunculkan tantangan sosial yang perlu dipertimbangkan. Upaya pemerintah untuk melakukan transformasi kendaraan listrik masih diikuti dengan berbagai permasalahan seperti kesiapan infrastruktur pendukung dan regulasi yang dapat mendorong upaya untuk transformasi itu sendiri berjalan dengan tepat, bukan hanya mendorong untuk bertambahnya kendaraan listrik tanpa mengurangi volume jumlah kendaraan berbahan bakar minyak. 

Pemerintah perlu menjamin penyebaran infrastruktur penunjang kendaraan listrik yang tidak hanya difokuskan pada region tertentu melainkan agar dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk menjamin terjadinya transformasi, pemerintah juga harus memastikan melalui penguatan regulasi agar keberadaan kendaraan listrik dapat diakses dengan murah, mudah dan aman, dengan juga memastikan bahwa penggunaan mobil berbahan bakar minyak memakan biaya yang lebih tinggi, misalnya dengan menaikkan harga bahan bakar minyak itu sendiri atau dengan menetapkan pajak kendaraan yang lebih mahal jika dibandingkan dengan kendaraan listrik. 

Sumber : .bphn.go.id